Monday, June 16, 2008

kumpulan tulisan 1-indahnya persahabatan

Indahnya persahabatan

oleh yun

Manusia tak kan bisa hidup sendirian. Butuh orang lain. Tempat berbagi ilmu, cerita, duka, dan bahagia. Setidaknya inilah yang amat ku rasakan sampai detik ini dalam hidupku. Apalagi setelah ku injakkan kaki di bandara Narita 4 tahun yang lalu. Perjalanan pertama kaliku ke luar negeri yang seharusnya penuh dengan kekhawatiran, terasa lebih tenang karena ditemani 19 orang teman-temanku. Teman seperjuangan yang telah mengisi sedikit banyak perjalanan hidupku di sini.

2 April 2004. Hari pertama ku jejakkan kaki di Jepang. Negeri kafir yang sebagian besar penduduknya masih terpana begitu melihat penampilanku dan beberapa kawanku berjilbab lainnya. Awalnya aku merasa risih dengan pandangan mereka, tapi mungkin bagi mereka, penampilan yang seperti ini memang sesuatu yang “aneh tapi nyata”, jadi wajar saja kalo mereka memandang begitu. Lama kelamaan akhirnya aku mulai terbiasa dengan pandangan mereka, dan selalu bersiap-siap menerima pertanyaan yang mungkin keluar dari mulut mereka berkisar tentang penampilanku ini. “Apa tidak panas?”, “kenapa pake itu?”, dan lain-lain. Karena bersama teman-temanku aku juga jadi bisa lebih kuat mengahadapi semua ke-tidak biasa-an yang dialami begitu sampai di Jepang. Malah merupakan suatu tantangan bagi kami untuk belajar bisa menjawab pertanyaan dengan baik dan mudah diterima dengan harus menggunakan bahasa jepang.

Setahun aku dan kawan-kawan berjuang untuk belajar bahasa Jepang di Tokyo. Kami juga tinggal di satu asrama. Satu lantai bersama 8 orang teman perempuanku yang lain. Kebersamaan kami setahun membuatku lebih dekat dengan mereka, walaupun aku baru mengenal mereka 8 bulan sebelum datang ke Jepang. Tiada hari tanpa mereka. Tiada hariku yang diwarnai tanpa canda tawa mereka. Bersama semangat menuntut ilmu, tak hanya bahasa jepang, tapi yang paling penting ilmu pokok yang wajib bagi setiap muslim, ilmu agama, juga ku pelajari bersama mereka.

Aku bukanlah termasuk orang yang rajin datang ke pengajian sewaktu di Indonesia. Aku juga bukan termasuk orang yang rajin belajar. Tapi, setelah bertemu mereka, aku salut melihat semangat mereka yang menggebu dalam menuntut ilmu, sehingga aku pun terpacu untuk mulai belajar. Syukurku kepada Allah, karena telah mempertemukan aku dengan teman-teman seperti mereka. Aku tak ingin berandai-andai, hanya kusadari betul betapa beruntungnya aku dipertemukan dengan mereka.

Lalu hari itu pun datang, hari dimana kami harus berpisah. Karena masing-masing telah mendapatkan universitas yang dipilih, yang tidak memungkinkan kami untuk tetap berada di satu daerah. Ada yang tetap di Tokyo, ada juga yang harus ke Gunma, Ibaraki, Fukushima, Nagano, dan Gifu. Jarak antara kota-kota ini bukan termasuk jarak yang dekat. Jadi, untuk bertemu setiap hari seperti dulu, sudah sangat tidak mungkin, selain juga ada kesibukan kuliah. Hanya fasilitas “ngomong via Handphone” dan “chat via Yahoo Messenger”, yang aku gunakan untuk bisa mengembalikan waktu bercengkerama bersama mereka, atau juga terkadang “ngumpul-ngumpul” di salah satu kota. Tapi walaupun kami sudah jarang bertemu, tidak berkurang sedikit pun rasa sayangku pada mereka. Malah perpisahan ini membuatku semakin sadar, bahwa aku butuh mereka, bahwa ku bahagia pernah punya waktu dekat dengan mereka.

Pernah kudengar seorang kawan berkata padaku “perasaan sayang itu akan lebih terasa disaat berpisah”. Dan itu lah yang memang aku rasakan. Kita bahkan tak sadar akan rasa itu ketika kita selalu bersama. “Kebersamaan” ini telah membuat kita tak menyadari rasa ini, dan hal-hal penting kecil lainnya terasa sangat “wajar”, lalu waktu pun berlalu begitu saja. Kita merasa akan terus bersama. Padahal perpisahan itu pasti akan datang. Ketika akan berpisah, barulah memori-memori lama bangkit kembali, dan rasa-rasa yang selama ini dianggap “wajar” itu muncul ke permukaan. Lalu terasalah betapa sedihnya berpisah, ketika kalian teman-temanku melambaikan tangan, ketika kalian memelukku sebelum pergi, air mata itu mengalir begitu saja.

Mengingat-ingat hal itu, aku semakin merasa betapa indahnya persahabatan ini. Aku sudah lama kenal dengan yang namanya “Persahabatan”. Tapi persahabatan yang kujalin di negeri yang menjadikan kaum muslimin seperti kita asing di dalamnya, baru kali ini. Persahabatan yang kali ini memberikan rasa tersendiri bagiku, yang tak ingin kulupakan. Persahabatan yang menyadarkanku akan pentingnya menuntut ilmu agama. Persahabatan yang mempertemukanku dengan ilmu agama yang benar. Persahabatan yang mengajarkanku berbagai macam hal dalam hidup, melatihku untuk bisa bersikap dewasa. Persahabatan yang membuatku bisa kuat. Persahabatan yang membuatku semangat, lalu ketika semangat itu lesu, bisa memicuku untuk bangkit kembali, karena kalian, teman-temanku tidak lesu, dan masih terus bersemangat, sehingga aku merasa tak ingin kalah. Aku bangga dengan kalian. Aku bukanlah orang yang gampang mengucapkan terima kasih, aku juga orang yang harus berfikir lama untuk mengucapkan satu kata maaf, tapi kali ini aku ingin mengatakan kepada semua teman-temanku. Terima kasih telah menjadi sahabatku, terima kasih telah mau mendengar segala keluh, kesah, dan gembiraku. Dan kumohon maaf kepada kalian atas segala kesalahanku. Ku ingin kalian selalu menjadi sahabatku. Dan yang paling penting ku ingin mengatakan “Aku sayang kalian, temanku”.

Indahnya persahabatan

Manusia tak kan bisa hidup sendirian. Butuh orang lain. Tempat berbagi ilmu, cerita, duka, dan bahagia. Setidaknya inilah yang amat ku rasakan sampai detik ini dalam hidupku. Apalagi setelah ku injakkan kaki di bandara Narita 4 tahun yang lalu. Perjalanan pertama kaliku ke luar negeri yang seharusnya penuh dengan kekhawatiran, terasa lebih tenang karena ditemani 19 orang teman-temanku. Teman seperjuangan yang telah mengisi sedikit banyak perjalanan hidupku di sini.

2 April 2004. Hari pertama ku jejakkan kaki di Jepang. Negeri kafir yang sebagian besar penduduknya masih terpana begitu melihat penampilanku dan beberapa kawanku berjilbab lainnya. Awalnya aku merasa risih dengan pandangan mereka, tapi mungkin bagi mereka, penampilan yang seperti ini memang sesuatu yang “aneh tapi nyata”, jadi wajar saja kalo mereka memandang begitu. Lama kelamaan akhirnya aku mulai terbiasa dengan pandangan mereka, dan selalu bersiap-siap menerima pertanyaan yang mungkin keluar dari mulut mereka berkisar tentang penampilanku ini. “Apa tidak panas?”, “kenapa pake itu?”, dan lain-lain. Karena bersama teman-temanku aku juga jadi bisa lebih kuat mengahadapi semua ke-tidak biasa-an yang dialami begitu sampai di Jepang. Malah merupakan suatu tantangan bagi kami untuk belajar bisa menjawab pertanyaan dengan baik dan mudah diterima dengan harus menggunakan bahasa jepang.

Setahun aku dan kawan-kawan berjuang untuk belajar bahasa Jepang di Tokyo. Kami juga tinggal di satu asrama. Satu lantai bersama 8 orang teman perempuanku yang lain. Kebersamaan kami setahun membuatku lebih dekat dengan mereka, walaupun aku baru mengenal mereka 8 bulan sebelum datang ke Jepang. Tiada hari tanpa mereka. Tiada hariku yang diwarnai tanpa canda tawa mereka. Bersama semangat menuntut ilmu, tak hanya bahasa jepang, tapi yang paling penting ilmu pokok yang wajib bagi setiap muslim, ilmu agama, juga ku pelajari bersama mereka.

Aku bukanlah termasuk orang yang rajin datang ke pengajian sewaktu di Indonesia. Aku juga bukan termasuk orang yang rajin belajar. Tapi, setelah bertemu mereka, aku salut melihat semangat mereka yang menggebu dalam menuntut ilmu, sehingga aku pun terpacu untuk mulai belajar. Syukurku kepada Allah, karena telah mempertemukan aku dengan teman-teman seperti mereka. Aku tak ingin berandai-andai, hanya kusadari betul betapa beruntungnya aku dipertemukan dengan mereka.

Lalu hari itu pun datang, hari dimana kami harus berpisah. Karena masing-masing telah mendapatkan universitas yang dipilih, yang tidak memungkinkan kami untuk tetap berada di satu daerah. Ada yang tetap di Tokyo, ada juga yang harus ke Gunma, Ibaraki, Fukushima, Nagano, dan Gifu. Jarak antara kota-kota ini bukan termasuk jarak yang dekat. Jadi, untuk bertemu setiap hari seperti dulu, sudah sangat tidak mungkin, selain juga ada kesibukan kuliah. Hanya fasilitas “ngomong via Handphone” dan “chat via Yahoo Messenger”, yang aku gunakan untuk bisa mengembalikan waktu bercengkerama bersama mereka, atau juga terkadang “ngumpul-ngumpul” di salah satu kota. Tapi walaupun kami sudah jarang bertemu, tidak berkurang sedikit pun rasa sayangku pada mereka. Malah perpisahan ini membuatku semakin sadar, bahwa aku butuh mereka, bahwa ku bahagia pernah punya waktu dekat dengan mereka.

Pernah kudengar seorang kawan berkata padaku “perasaan sayang itu akan lebih terasa disaat berpisah”. Dan itu lah yang memang aku rasakan. Kita bahkan tak sadar akan rasa itu ketika kita selalu bersama. “Kebersamaan” ini telah membuat kita tak menyadari rasa ini, dan hal-hal penting kecil lainnya terasa sangat “wajar”, lalu waktu pun berlalu begitu saja. Kita merasa akan terus bersama. Padahal perpisahan itu pasti akan datang. Ketika akan berpisah, barulah memori-memori lama bangkit kembali, dan rasa-rasa yang selama ini dianggap “wajar” itu muncul ke permukaan. Lalu terasalah betapa sedihnya berpisah, ketika kalian teman-temanku melambaikan tangan, ketika kalian memelukku sebelum pergi, air mata itu mengalir begitu saja.

Mengingat-ingat hal itu, aku semakin merasa betapa indahnya persahabatan ini. Aku sudah lama kenal dengan yang namanya “Persahabatan”. Tapi persahabatan yang kujalin di negeri yang menjadikan kaum muslimin seperti kita asing di dalamnya, baru kali ini. Persahabatan yang kali ini memberikan rasa tersendiri bagiku, yang tak ingin kulupakan. Persahabatan yang menyadarkanku akan pentingnya menuntut ilmu agama. Persahabatan yang mempertemukanku dengan ilmu agama yang benar. Persahabatan yang mengajarkanku berbagai macam hal dalam hidup, melatihku untuk bisa bersikap dewasa. Persahabatan yang membuatku bisa kuat. Persahabatan yang membuatku semangat, lalu ketika semangat itu lesu, bisa memicuku untuk bangkit kembali, karena kalian, teman-temanku tidak lesu, dan masih terus bersemangat, sehingga aku merasa tak ingin kalah. Aku bangga dengan kalian. Aku bukanlah orang yang gampang mengucapkan terima kasih, aku juga orang yang harus berfikir lama untuk mengucapkan satu kata maaf, tapi kali ini aku ingin mengatakan kepada semua teman-temanku. Terima kasih telah menjadi sahabatku, terima kasih telah mau mendengar segala keluh, kesah, dan gembiraku. Dan kumohon maaf kepada kalian atas segala kesalahanku. Ku ingin kalian selalu menjadi sahabatku. Dan yang paling penting ku ingin mengatakan “Aku sayang kalian, temanku”.

No comments: