Indahnya persahabatan
oleh yun
Manusia tak
2 April 2004. Hari pertama ku jejakkan kaki di Jepang. Negeri kafir yang sebagian besar penduduknya masih terpana begitu melihat penampilanku dan beberapa kawanku berjilbab lainnya. Awalnya aku merasa risih dengan pandangan mereka, tapi mungkin bagi mereka, penampilan yang seperti ini memang sesuatu yang “aneh tapi nyata”, jadi wajar saja kalo mereka memandang begitu. Lama kelamaan akhirnya aku mulai terbiasa dengan pandangan mereka, dan selalu bersiap-siap menerima pertanyaan yang mungkin keluar dari mulut mereka berkisar tentang penampilanku ini. “Apa tidak panas?”, “kenapa pake itu?”, dan lain-lain. Karena bersama teman-temanku aku juga jadi bisa lebih kuat mengahadapi semua ke-tidak biasa-an yang dialami begitu sampai di Jepang. Malah merupakan suatu tantangan bagi kami untuk belajar bisa menjawab pertanyaan dengan baik dan mudah diterima dengan harus menggunakan bahasa jepang.
Setahun aku dan kawan-kawan berjuang untuk belajar bahasa Jepang di Tokyo. Kami juga tinggal di satu asrama. Satu lantai bersama 8 orang teman perempuanku yang lain. Kebersamaan kami setahun membuatku lebih dekat dengan mereka, walaupun aku baru mengenal mereka 8 bulan sebelum datang ke Jepang. Tiada hari tanpa mereka. Tiada hariku yang diwarnai tanpa canda tawa mereka. Bersama semangat menuntut ilmu, tak hanya bahasa jepang, tapi yang paling penting ilmu pokok yang wajib bagi setiap muslim, ilmu agama, juga ku pelajari bersama mereka.
Aku bukanlah termasu
Lalu hari itu pun datang, hari dimana kami harus berpisah. Karena masing-masing telah mendapatkan universitas yang dipilih, yang tidak memungkinkan kami untuk tetap berada di satu daerah.
Pernah kudengar seorang kawan berkata padaku “perasaan sayang itu akan lebih terasa disaat berpisah”. Dan itu lah yang memang aku rasakan. Kita bahkan tak sadar akan rasa itu ketika kita selalu bersama. “Kebersamaan” ini telah membuat kita tak menyadari rasa ini, dan hal-hal penting kecil lainnya terasa sangat “wajar”, lalu waktu pun berlalu begitu saja. Kita merasa akan terus bersama. Padahal perpisahan itu pasti akan datang. Ketika akan berpisah, barulah memori-memori lama bangkit kembali, dan rasa-rasa yang selama ini dianggap “wajar” itu muncul ke permukaan. Lalu terasalah betapa sedihnya berpisah, ketika kalian teman-temanku melambaikan tangan, ketika kalian memelukku sebelum pergi, air mata itu mengalir begitu saja.
Mengingat-ingat hal itu, aku semakin merasa betapa indahnya persahabatan ini. Aku sudah lama kenal dengan yang namanya “Persahabatan”. Tapi persahabatan yang kujalin di negeri yang menjadikan kaum muslimin seperti kita asing di dalamnya, baru kali ini. Persahabatan yang kali ini memberikan rasa tersendiri bagiku, yang tak ingin kulupakan. Persahabatan yang menyadarkanku akan pentingnya menuntut ilmu agama. Persahabatan yang mempertemukanku dengan ilmu agama yang benar. Persahabatan yang mengajarkanku berbagai macam hal dalam hidup, melatihku untuk bisa bersikap dewasa. Persahabatan yang membuatku bisa kuat. Persahabatan yang membuatku semangat, lalu ketika semangat itu lesu, bisa memicuku untuk bangkit kembali, karena kalian, teman-temanku tidak lesu, dan masih terus bersemangat, sehingga aku merasa tak ingin kalah. Aku bangga dengan kalian. Aku bukanlah orang yang gampang mengucapkan terima kasih, aku juga orang yang harus berfikir lama untuk mengucapkan satu kata maaf, tapi kali ini aku ingin mengatakan kepada semua teman-temanku. Terima kasih telah menjadi sahabatku, terima kasih telah mau mendengar segala keluh, kesah, dan gembiraku. Dan kumohon maaf kepada kalian atas segala kesalahanku. Ku ingin kalian selalu menjadi sahabatku. Dan yang paling penting ku ingin mengatakan “Aku sayang kalian, temanku”.
Indahnya persahabatan
Manusia tak
2 April 2004. Hari pertama ku jejakkan kaki di Jepang. Negeri kafir yang sebagian besar penduduknya masih terpana begitu melihat penampilanku dan beberapa kawanku berjilbab lainnya. Awalnya aku merasa risih dengan pandangan mereka, tapi mungkin bagi mereka, penampilan yang seperti ini memang sesuatu yang “aneh tapi nyata”, jadi wajar saja kalo mereka memandang begitu. Lama kelamaan akhirnya aku mulai terbiasa dengan pandangan mereka, dan selalu bersiap-siap menerima pertanyaan yang mungkin keluar dari mulut mereka berkisar tentang penampilanku ini. “Apa tidak panas?”, “kenapa pake itu?”, dan lain-lain. Karena bersama teman-temanku aku juga jadi bisa lebih kuat mengahadapi semua ke-tidak biasa-an yang dialami begitu sampai di Jepang. Malah merupakan suatu tantangan bagi kami untuk belajar bisa menjawab pertanyaan dengan baik dan mudah diterima dengan harus menggunakan bahasa jepang.
Setahun aku dan kawan-kawan berjuang untuk belajar bahasa Jepang di Tokyo. Kami juga tinggal di satu asrama. Satu lantai bersama 8 orang teman perempuanku yang lain. Kebersamaan kami setahun membuatku lebih dekat dengan mereka, walaupun aku baru mengenal mereka 8 bulan sebelum datang ke Jepang. Tiada hari tanpa mereka. Tiada hariku yang diwarnai tanpa canda tawa mereka. Bersama semangat menuntut ilmu, tak hanya bahasa jepang, tapi yang paling penting ilmu pokok yang wajib bagi setiap muslim, ilmu agama, juga ku pelajari bersama mereka.
Aku bukanlah termasu
Lalu hari itu pun datang, hari dimana kami harus berpisah. Karena masing-masing telah mendapatkan universitas yang dipilih, yang tidak memungkinkan kami untuk tetap berada di satu daerah.
Pernah kudengar seorang kawan berkata padaku “perasaan sayang itu akan lebih terasa disaat berpisah”. Dan itu lah yang memang aku rasakan. Kita bahkan tak sadar akan rasa itu ketika kita selalu bersama. “Kebersamaan” ini telah membuat kita tak menyadari rasa ini, dan hal-hal penting kecil lainnya terasa sangat “wajar”, lalu waktu pun berlalu begitu saja. Kita merasa akan terus bersama. Padahal perpisahan itu pasti akan datang. Ketika akan berpisah, barulah memori-memori lama bangkit kembali, dan rasa-rasa yang selama ini dianggap “wajar” itu muncul ke permukaan. Lalu terasalah betapa sedihnya berpisah, ketika kalian teman-temanku melambaikan tangan, ketika kalian memelukku sebelum pergi, air mata itu mengalir begitu saja.
Mengingat-ingat hal itu, aku semakin merasa betapa indahnya persahabatan ini. Aku sudah lama kenal dengan yang namanya “Persahabatan”. Tapi persahabatan yang kujalin di negeri yang menjadikan kaum muslimin seperti kita asing di dalamnya, baru kali ini. Persahabatan yang kali ini memberikan rasa tersendiri bagiku, yang tak ingin kulupakan. Persahabatan yang menyadarkanku akan pentingnya menuntut ilmu agama. Persahabatan yang mempertemukanku dengan ilmu agama yang benar. Persahabatan yang mengajarkanku berbagai macam hal dalam hidup, melatihku untuk bisa bersikap dewasa. Persahabatan yang membuatku bisa kuat. Persahabatan yang membuatku semangat, lalu ketika semangat itu lesu, bisa memicuku untuk bangkit kembali, karena kalian, teman-temanku tidak lesu, dan masih terus bersemangat, sehingga aku merasa tak ingin kalah. Aku bangga dengan kalian. Aku bukanlah orang yang gampang mengucapkan terima kasih, aku juga orang yang harus berfikir lama untuk mengucapkan satu kata maaf, tapi kali ini aku ingin mengatakan kepada semua teman-temanku. Terima kasih telah menjadi sahabatku, terima kasih telah mau mendengar segala keluh, kesah, dan gembiraku. Dan kumohon maaf kepada kalian atas segala kesalahanku. Ku ingin kalian selalu menjadi sahabatku. Dan yang paling penting ku ingin mengatakan “Aku sayang kalian, temanku”.
No comments:
Post a Comment